Jumat, 5 Oktober 2018 | 13:40 WIB | Ahmad | PSG | 4602
Honest parenting, kalau dalam bahasa Indonesia mungkin maksudnya mengasuh tanpa jaim (jaga image), tidak hanya diperlukan oleh orang tua dengan anak tipikal (tanpa masalah perkembangan/kebutuhan khusus), namun juga diperlukan oleh saya sebagai salah satu ortu dengan anak berkebutuhan khusus (ABK). Ya, saya tidak akan mencoba mewakili ibu/bapak lain yang memiliki ABK yang selalu diet tanpa bocor, yang disiplin sama sekali tidak memberi gadget apapun bentuknya, yang ideal memenuhi kebutuhan terapi anak selama 40 jam/minggu. Sungguh saya sudah mencoba, tapi ternyata sejauh ini saya belum sanggup,
Saya pernah bercerita mengenai mood saya yang sering memengaruhi motivasi saya untuk mengulang terapi di rumah. Some days are better than the others, kalau saya lagi mood saya bisa seharian ajak main babyAm & adiknya, seluruh perhatian terkucurkan dan di akhir hari saya puas karena sudah 101% mengasuh anak dengan baik. Tapi sayangnya lebih sering gak mood.
Apalagi kalau kerjaan rumah sedang numpuk & saya tidak mau diganggu menyelesaikan, maka masuklah TV di situ untuk buat anteng anak-anak. Atau kalau saya sedang PMS dan pengennya marah-marah, maka masuklah segala macam biskuit & snack bergula biar pada sibuk nyemil. Dan di akhir hari saya akan merasa menjadi ibu yang buruk. Dan seringkali saya merasa tidak becus.
Lalu ketika scrolling FB di mana saya kenal online dengan sesama ortu ABK & saya melihat mereka update status tentang progress anaknya, atau menu sehari-hari yang super sehat, atau ikut terapi minimal 10 jam per hari, atau seminar terapi ini & itu kemudian sharing catatan jurnal anak spesial yang disiplin setiap hari mereka jalani. Saya benar-benar takjub, dan salut, senang, dan bangga dengan teman-teman ortu hebat dengan segala cerita perjuangannya, tapi di sisi lain saya merasa semakin tidak kompeten sebagai ortu dengan ABK.
Saya jelas bukan orang tua ideal, dan jujur saya menangani babyAm rasanya terseok-seok. Dahulu saya menyangka bahwa semua ortu ABK pasti lebih saling menghargai, tidak nyinyir, gak suka menghakimi..karena saya merasa demikian setelah berkecimpung di dunia terapi kebutuhan khusus. Saya merasa kita gak bisa menilai kemampuan parenting orang tua dari penampakan fisik anaknya, atau dengan bagaimana anak berperilaku di tempat umum, karena ketika kita berhadapan dengan jenis kebutuhan khusus seperti spektrum autisme ternyata ada banyak alasan mengapa anak bersikap demikian. Kita gak tau perjuangan orang tuanya untuk buat anak itu gak lari-larian, untuk menahan stimming anak di tempat umum, untuk memberi perhatian ekstra pada sensori-sensori kecil yang bisa membuat anak tidak nyaman. Karenanya saya selalu suka berbincang dengan sesama ortu ABK karena asumsi saya: mereka gak akan menilai saya buruk.
Ternyata ya asumsi saya salah...
Yang nyinyir mah ada aja, yang suka judge juga tetap ada. Terapi dia yang paling OK, terapi orang lain salah. ABK itu harus diet, kalau ada ortu yang gak dietin? Dianggap sungguh sangat berdosa. Saya kaget dan sedih, tapi ini fakta (ya setidaknya ini fakta bagi saya, bisa jadi orang lain gak pernah kena nyinyiran macam ini..saya aja yang apes). Makanya seperti saya bilang di awal, saya butuh honest parenting. Saya sadar dengan segala kekurangan saya, tapi saya rasa daripada nyinyir balik, lebih baik saya fokus pada prioritas saya: babyAm. Lepas dari cara saya ideal atau tidak, paling disiplin atau tidak disiplin, babyAm itu anak saya, bukan anak orang lain.. dan alhamdulillaah Allah beri kesempatan mengasuh langsung setiap hari. Saya tidak akan biarkan penghakiman orang menghambat saya mencintai babyAm dengan sepenuh hati meski saya bukan ibu terbaik di dunia. Toh yang nyinyirin cara saya gak ikut kejar-kejar babyAm di tempat umum, toh mereka cuma bisa komen tanpa benar-benar tau rutinitas yang harus saya jalani.
Jadi ya, saya bertekad tidak akan membiarkan kata-kata orang asing menyakiti saya. Memiliki ABK atau tidak, setiap ibu berhak merasa nyaman dengan dirinya sendiri, berhak merasa bahagia dengan keputusannya selama ia mencoba bertanggung jawab. Ia berhak merasa puas dengan ikhtiar yang sudah ia lakukan sesuai dengan kemampuan lahir & batinnya, secara ekonomi, secara psikis dan sebagainya. Dan meski terseok-seok, meski mungkin dipandang tidak becus, saya berupaya sebaik mungkin menjaga kehidupan anak-anak saya secara bertanggung jawab. Dan tanggung jawab paling penting bukan di hadapan para netizen, bukan dokter; psikolog atau terapis, bukan orang tua dan mertua, bahkan bukan bagi suami, tapi tanggung jawab di hadapan Allah.
Karena sungguh saya tidak bisa apa-apa, hanya Allah yang telah memelihara babyAm sejak ia di dalam kandungan hingga sekarang ia berusia 5 tahun dengan segala proses yang ia capai. Allah yang menjaga babyAm ketika saya sedang moody, Allah yang menjaga babyAm ketika saya bingung harus bagaimana mengatasi stimming & tantrumnya. Jadi kalau sampai saya memilih untuk tidak menjaga babyAm, tentu saya sangat tidak tau diri. Dengan segala kekurangan saya, saya tetap memprioritaskan kesehatan fisiknya (kebutuhan makan pagi, siang, sore, higienitasnya). Kalau dia lagi susah makan, ya akan dijejali apa yang dia mau, yang penting perutnya terisi. Ada yang bilang saya egois tidak coba tes alergi babyAm meskipun tesnya mahal, senyumin aja
Dia komen karena dia tidak tau kondisi kita, ketika dia bisa dan orang lain tidak bisa tentu saja mudah untuk komen: “kamu sih gak mau berkorban”
Tanpa dia tau kondisi kita seperti apa, tanpa dia tau apa yang sudah kita korbankan.
Perlukah kita jelaskan kondisi kita pada mereka? Kalau masih bisa tahan tutup kuping, ya senyumin aja. Selama tidak difitnah macam-macam, ya yang sabar. Don’t let bad words hurt you. Tetaplah asuh & asih anak spesial kita dengan segenap kemampuan, dengan berbagai fasilitas yang mampu kita jangkau, jangan terlalu risau dengan apa kata orang (baik dari sesama ortu ABK mau pun dari orang lain). Yang paling penting adalah kita melakukan sesuatu bagi anak-anak spesial ini, dan tidak menelantarkan.
Tentu saja tips ini saya peruntukkan bagi sesama ortu yang mungkin mengalami hal yang sama. Yang mungkin lelah dinyinyirin orang-orang terdekat, ya atau mungkin netizen random di dunia maya. Yang sabar ya & tetap semangat. Dan yang paling penting harus diingat: tetap bersyukur meski terseok-seok. Jangan pernah berhenti melangkah, meski terseok-seok. Setiap kemajuan anak kita meskipun hanya kemajuan kecil, semuanya harus disyukuri. Dan selalu berdoa, semoga Tuhan kuatkan hati & mental menerima semua penghakiman tanpa sakit hati. Semoga Tuhan selalu menjaga anak-anak spesial kita, kapan pun, di mana pun mereka berada. Aamiin.
Penulis: Elwiena Maulida (Kontributor Sahabat Rumah Autis)