Rabu, 6 Februari 2013 | 08:57 WIB | Administrator | Pengetahuan | 4180
Indonesia memiliki jumlah penduduk yang cukup banyak, jumlah penduduk tiga kali lipat dari negara Jepang. Sebagian besar penduduk Indonesia mungkin masih asing dengan autis, apa itu autis, penanganan autis seperti apa, autis menular atau tidak dan banyak pertanyaan-pertanyaan tentang autis.
Autis atau Autisme berasal dari kata Yunani yakni “Autos” yang berarti diri sendiri, sebagaimana kecenderungan penyandang autis yang memang “terjebak” di dunianya sendiri. Secara umum, penyandang autisme memiliki gangguan atau kesulitan pada tiga aspek yang meliputi Interaksi sosial, komunikasi dan perilaku.
Data Autis Berbagai Versi
Beberapa penelitian di dunia menyebutkan, prevalensi penyandang autisme adalah 1:5000. Ini adalah sesuai yang disampaikan oleh Leo Kanner, tokoh perintis penelitian tentang autisme pada 1943. Lalu menurut Victor Lotter di Inggristahun 1966 autisme ditemukan pada 4-5 anak per 10.000 anak.
Penelitian Tanaove di Jepang (1988) menyebutkan autisme ditemukan pada 13 per 10.000 anak, sedangkan yang paling mencengangkan adalah penelitian di Amerika Serikat tahun 2000, autisme ditemukan pada 1 per 150 anak. Dari data tersebut, dapat dicermati kecenderungan yang terus meningkat setiap dekade.
Bagaimana di Indonesia? Dari data BPS tahun 2005, jumlah anak usia 5 – 19 tahun hampir mencapai 63 juta. Walaupun belum ada penelitian khusus yang dapat menyajikan data yang jelas, jika diasumsikan setiap 150 anak terdapat 1 anak autis, maka di Indonesia diperkirakan terdapat lebih dari 420.000 anak autis dengan rentang usia 5 – 19 tahun.
Begitu banyak jumlah penyandang autis di Indonesia, bak fenomena gunung es autis akan terus bertambah tanpa ada tindak lanjut dari pemerintah Indonesia. Mahalnya biaya untuk terapi, sulitnya mengasuh anak-anak autis, dan jaminan masa depan yang belum pasti menjadi kekhawatiran keluarga penyandang autis.
Ditambah lagi kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh penyandang autis ternyata tidak hanya berdampak pada individu penyandang itu saja, tetapi juga kepada keluarganya maupun lingkungan masyarakat di mana ia tinggal. Banyak keluarga yang masih tidak menerima atau bahkan menyembunyikan apabila ada bagian dari keluarganya adalah penyandang autis. Belum lagi lingkungan/masyarakat tradisional yang masih awam terhadap autisme kebanyakan juga masih memandang sebelah mata atau bahkan menolak kehadiran penyandang autis di lingkungan mereka. Fenomena sosial-kemanusiaan ini sungguh layak untuk menjadi perhatian kita bersama. *Athurtian
Sumber: Majalah Rumah Autis 2008